Monday, August 26, 2013

Anak Nakal?? Really...

sumber gambar dari sini


Sewaktu saya kecil, ibu sangat sering memarahiku. Anehnya, setiap marah, beliau selalu mengatakan :

"Kamu itu gak nakal, cuma keras kepalanya minta ampun"

Oke. Jadi saya dimarahi bukan karena nakal, tetapi karena keras kepala.
Baiklah...itu dapat diterima.

Saya pun mulai memasuki masa-masa dewasa, yaitu kisaran umur 25 - 30an tahun. Di masa-masa ini, banyak teman yang menikah, dan saya pun dikelilingi oleh 'keponakan-keponakan' lucu dan menggemaskan. 
 
Untuk yang anaknya masih bayi hingga balita, kepribadian anak-anak ini menonjol dengan cara-cara yang unik. Ada yang pendiam, ada yang posesif, ada yang tertutup, ada yang banci tampil. Sungguh beraneka rupa. Saya juga mempelajari cara teman - teman saya mengasuh anak-anaknya. Cara mendidik, cara mendisiplinkan, dan hal-hal lainnya.

Sedangkan, bagi mereka yang anak-anaknya yang sudah memasuki usia sekolah, mereka mulai berkeluh mengenai uang spp, pendaftaran, les ini itu, bla bla bla...
Jadi ketawa sendiri dan miris mengingat betapa dulu semasa anak-anak, kita sebagai anak sekolah justru seringkali tidak memanfaatkan peluang ini dengan sering bolos dan hepi-hepi kala pelajaran kosong. What an ironic..

Berbicara kenakalan masa sekolah, anak-anak sekarang sudah cukup beruntung dengan adanya metoda pembelajaran yang menyesuaikan dengan karakter anak. Walaupun masih terbatas pada sekolah-sekolah tertentu, tetapi alternatif tersebut ada.
Bandingkan dengan jaman saya sekolah, dimana bentuk pengajarannya searah dan anak benar-benar diminta untuk diam dan mendengarkan, dalam artian sesungguhnya.

Semasa kecil, SD terutama, saya memiliki masalah untuk fokus pada satu bidang. Saya modah bosan untuk melakukan satu hal yang sama dalam waktu yang lama, sehingga reflek saya melakukan kegiatan lain.
Walau bukan termasuk anak nakal, saya tidak bisa diam. Entah mengajak bicara, menggerak-gerakkan kaki, bermain sendiri, apapun asal tidak dalam keadaan diam.

Tentunya ini membuat beberapa guru saya protes, saya dihukum untuk hal-hal yang menurut saya aneh. 
 
Seperti ketika SD kelas V, kami satu kelas diminta untuk mempelajari suatu bab di buku pelajaran. Karena lebih mudah dan lebih mengasyikkan kalau bersama-sama, maka saya mengajak teman saya sebangku dan teman di depan saya untuk bermain kuis. Bergantian kami tanya jawab, siapa yang benar dapat point. Yang menang dapat gratis nasi rames (Rp. 100 kala itu..terdiri dari nasi putih 3 sendok makan+beberapa butir kering tempe+ satu sendok makan mihun). Ketika asik bertanya jawab, nama saya diteriakkan oleh bu Guru. Satu kelas hening, semua mata tertuju ke saya.


Bu Guru : "NANA!!! Kamu itu disuruh belajar bukannya main. Ngapain kamu ribut sendiri??!!"

Saya: "Loh bu, saya gak main kok, saya belajar sama teman-teman"

Bu Guru: "Belajar apa, berisik begitu!!"

Saya: "Kalau Ibu ga percaya, tanya aja, nanti saya jawab" 

Dan ibu guru pun mulai menanyakan deretan pertanyaan, yang tentu saja bisa saya jawab semua.
Memang dasar orde baru dimana kekuasaan mutlak dan tak terbantahkan, saya tetap dihukum untuk membersihkan kamar mandi selama seminggu.

Jengkel...tapi bisa apa...terpaksa saya jalani hukuman itu.

Ya..begitulah..
 Kalau saya SDnya sekarang, mungkin orang tua saya akan mencak-mencak ke sekolah dan mengadukan ke wartawan bahwa terjadi penganiyayaan oleh guru...well...tapi orang tua saya tidak se-lebay itu....thanks God.


Saya jadi ingat salah satu anak teman saya yang bernama Nicho. Nicho ini juga tidak bisa diam. Gerak kesana kemari, dan karena ingin bermain, maka ngajak orang lain untuk 'bergabung'.
Saya ingat waktu bertemu Nicho saat acara reuni SMA. Ibunya benar-benar panik waktu dia dekat-dekat dengan seorang teman yang sedang hamil. Takut di slam-dunk katanya. 
Terus, ketika ibunya memberikan botol M&M dengan harapan Nicho duduk diam, Nicho berinisiatif menjadikan botol M&M itu menjadi microphone. Berdiri di kursi dan mulai jadi MC!
Itu sungguh-sungguh epic!!
Sebagai keterangan, kala itu kami reuni di sebuah restaurant di Mall, yang tentu saja tidak kami sewa pribadi. Dan suara Nicho keras!

Saya sakit perut karena tertawa, sedangkan ibunya panik tingkat tinggi.

Tapi, yang paling saya suka. Ibunya Nicho tidak memarahi Nicho sama sekali. NIcho dialihkan ke hal lain yang dapat membuat dia sibuk. Seperti disodorin tablet agar dia bisa asik main game. Satu hal ini, saya bangga pada teman saya, ibu Nicho yang sebaiknya tidak disebutkan namanya demi nama baik.

Saya juga punya beberapa teman yang disebut 'nakal' saat kecil dan saat ini menjadi orang-orang sukses. Nakal disini bukan nakal yang kriminil ya, teman-teman saya baik-baik semua..hehehe..
Nakal dalam artian tidak bisa diam, usil dan senang melakukan hal-hal baru.

Ada yang menjadi seorang terapist lulusan Kanada dengan beasiswa full, dan saat ini memiliki yayasannya sendiri.
Ada yang menjadi Manager dari sebuah perusahaan besar.
Ada yang menjadi Asisten VP dari sebuah bank ternama di tanah air.
Ada yang sekarang di luar negeri menjadi programmer sekaligus traveler.
Dan banyak lagi...

Dari yang saya perhatikan , mereka bisa berhasil seperti ini, tidak lain karena bimbingan orang tua mereka.
Sama seperti Ibunya Nicho, orang tua teman-teman saya ini bersikap positif terhadap ke'nakal'an anak-anaknya.
Mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan positif, didorong untuk aktif berorganisasi, dan diasah untuk menjadi pelindung dan bukan penjajah. Sama seperti yang dilakukan oleh orang tua saya kepada saya dulu. Kami tidak pernah disebut nakal dan dikata-katai dengan kata-kata kasar. Disaat kepercayaan diri kami runtuh, mereka meyakinkan kami bahwa tidak ada yang tidak bisa kami lakukan.

Saya tersenyum...

Saat ini, kami sudah beralih peran. 
Dari anak-anak 'nakal' yang menyusahkan guru dan orang tua, menjadi orang tua serta guru bagi anak-anak kami.

Menilik pengalaman kami saat kecil, sungguh saya berharap, bahwa kami tidak lupa seperti apa kami saat kecil dulu, dan bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kami.



because we are human
with err and weakness
 future always there
behold in front of us
with little hands that we holding
and smile that we hope 
shall stay forever
even when we had let go


***

Sunday, August 25, 2013

Beyond Words



sumber gambar

Mungkin di suatu waktu
Di suatu kehidupan yang telah berlalu
Kau dan aku 
Adalah dua jiwa yang dulu satu

Kita yang tak tertali saudara
Tak berbagi daging dan darah
Tapi memiliki ikatan kuat
Yang tak kasat mata

Tak perlu kata untuk mengatakan apa yang dirasakan
Hanya butuh tatapan dan senyuman
Maka semua yang ada di dalam pikiran terutarakan


We are beyond words. And that's that.



***

Untukmu Ayah dan Ibu




Ketika ku kecil, tidak terlintas di benakku untuk mengenal lebih jauh sosok kedua orangtuaku. Aku hanya mengenal sosok papa dan sosok mama. Tentang betapa galak dan cerewetnya mama, dan kebaikan serta kesabaran papa yang tak pernah menolak apapun yang kuminta. Masa kecilku kulalui dengan tenang, penuh kesenangan dan kebahagiaan kanak-kanak.

Seiring waktu berlalu, keadaan berubah, aku pun belajar untuk melihat bukan hanya sosok 'papa' dan 'mama' tetapi sosok mereka sebagai pribadi. Aku menyadari, bahwa mereka tidak sempurna tapi berusaha menjadi orang tua yang sempurna, untukku.


Aku belajar untuk melihat mereka dari sisi yang berbeda. Dari cerita teman-temanku, aku mengetahui bahwa ayahku merupakan salah satu pegawai yang memiliki pencapaian istimewa di perusahaan tempatnya bekerja. Dengan umur yang masih relatif muda, dia telah menapakkan jejak karirnya di posisi yang tinggi. Istrinya, mamaku, merupakan wanita yang mudah bergaul dan disayang oleh banyak orang. Sosok wanita cantik yang baik hati dan tak pernah berprasangka. Teman-temanku menyebutnya "Tante Cantik yang Baik Hati".

Roda kehidupan pun berputar. 


Kini aku menapaki kehidupan sebagai wanita dewasa, meniti karir dan hidup mandiri. Seiring berjalannya waktu, teman-temanku mulai menjadi ayah dan ibu. Mereka berbagi kisah mereka tentang menjadi orang tua. Kegugupan, ketidakpastian, pengharapan dan pengabdian terhadap anak-anak mereka. Dan akupun mulai menyadari bahwa orang tuaku dulu pasti merasakan kegugupan yang sama saat menjadi orang tua. Saat aku tak bisa berhenti menangis, atau ketika aku mengompol di saat pernikahan keluarga. Atau ketika aku hilang saat pesta natal karena terlalu asik menjelajah. Kepanikan, amarah dan kedisiplinan itu mulai menjadi masuk akal.

Saat rambut orangtuaku tak lagi hitam. Ingatan mulai memudar. Kekuatan yang mulai meluruh. Aku melihat mereka sebagai manusia.
 
Aku menghargai pencapaian ayahku di masa mudanya, bahwa perjuangan dan pencapaiannya bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. 
Aku mempelajari kerjasama mama dan papa dalam mengelola rumah tangga, dan memahami bahwa 25 tahun usia perkawinan sungguh-sungguh merupakan hal membanggakan.

Aku pun tumbuh sebagai manusia, berdasarkan kesalahan, keberhasilan, kekeliruan, dan perjuangan mereka.

Aku bukan lagi seorang anak, melainkan seorang dewasa yang berjuang untuk dapat memberikan hal yang kuterima dulu kepada keluargaku kelak. 
Aku beranjak dari seorang anak yang diobati lukanya saat terjatuh dari sepeda, menjadi seorang manusia yang belajar bertahan menghadapi hidup yang tak selalu ramah.

Orang tuaku telah menghilang. 

Mereka kini menjadi temanku, dimana kami tak selalu seiya-sekata, dan menempuh kehidupan masing-masing, di dunia yang berbeda. Kami berbicara sebagai sesama dewasa, walau terkadang, sebagai orang tua, tersilap rasa untuk menyimpan gadis kecilnya untuk selamanya.

Dari kesemua yang terjadi, segala hal yang telah dilalui, kenangan manis dan pelajaran pahit, aku sadar sesadarnya bahwa diriku adalah hasil asuhan dan didikan mereka. Dan aku berterimakasih, bahwa apa yang kulalui menjadikan diriku saat ini.


Terakhir, ku hanya ingin mengatakan:
 
"Mom, Dad, you have done your job well done and I'm so proud to be your daughter"


***