Saturday, December 8, 2012

Darkness of Human

I've seen death so many times
Too many times
It lurks within every human soul
waited to be release
and grab their soul
back to where it belongs

I've seen people I care going away
Taken or left out
They have their own reason to be
So let it be

Every person have their journey
Every moment have their remarks
So why does it has to be different

It is not the matter of why
It is only the matter of how
and may God have mercy
To let the answer reveal upon me

This time no breath is longer than it should
Its getting dimmer and dimmer
and the light is fading
Maybe its time to sleep now

Floating in a midnight sky
with no purpose why
None understand
nor accepting
one soul is being lost in space

I am lost

Tuesday, September 18, 2012

Kala Waktu Membeku

Nina melihat pergelangan tangannya, angka menunjuk waktu 9.15, sudah 15 menit dia menunggu. Tidak biasanya Bima terlambat menjemputnya. Bandara tampak ramai, pagi hari senin memang waktu yang seakan-akan tak pernah surut akan keriuhan manusia. Nina bersandar di sandaran kursi biru di deretan tempat pengantar. Banyak orang lalu lalang di hadapannya, mata Nina menatap nanar, dia tidak berusaha mencari. Entah kenapa dia sudah merasa malas. Diliriknya HP nokia merah dalam tasnya, tidak ada pesan baru ataupun panggilan masuk. Entah sudah berapa kali dia menelpon Bima, tetapi nomor yang dituju tidak aktif. Nina mendesah pelan, tanpa sadar bibirnya dicibirkan ke depan.

5 menit lagi, kalau anak jelek itu tidak menampakkan batang hidungnya, aku pulang sendiri naik bis, batin Nina.

***

Pukul 09.00, Bima cepat-cepat memarkir motornya. Schedule yang diberikan Nina jam 09.00 tepat pesawat mendarat. Waktu boarding tadi dia sudah meminta Nina untuk mengirim pesan padanya, sekedar memastikan keberangkatan tepat waktu atau tidak. Keberangkatan sudah tepat, sehingga seharusnya saat ini Nina sudah turun dari pesawat. Sesampai di area kedatangan..langkahnya terhenti...bahkan dari jarak sejauh ini dia bisa mengenali Nina. Rambutnya yang sebahu di jepit kebelakang, sejumput rambut liar menutupi sebelah daun telinganya. Dengan ransel kecil dan sambil menenteng sebuah bungkusan, gadis mungil itu berjalan menuju pintu keluar. Entah kenapa, Bima cepat-cepat menyembunyikan diri. Dia tidak ingin gadis itu melihatnya, bergegas dimatikan ponselnya dan dia mencari posisi duduk di sebuah cafe dimana dia bisa mengamati gerak gerik gadis itu tanpa terlihat olehnya. Sungguh Bima tidak bisa menjelaskan mengapa dia bertingkah seaneh itu, dia hanya merasa, hal itu perlu dia lakukan. Dalam kejauhan Bima melihat kegelisahan Nina, tapi entah kenapa dia menikmatinya.

Saat-saat itu, adalah saat-saat dimana Bima dapat menatap Nina dengan tatapan yang selama ini dia sembunyikan, tatapan yang tak akan pernah ia keluarkan ketika bersama dengan Nina. Ketika dia harus memainkan peran sahabat yang baik, sahabat yang selalu ada, yang mengejek, bercanda dan tertawa bersama...hanya itu...tidak lebih.

Bima memperhatikan setiap gerak-gerik yang dilakukan Nina, caranya memainkan kacamatanya, kebingungannya mencari tempat duduk,  raut kesalnya karena nomer yang ia tekan tidak aktif, semuanya...sekecil apapun itu, Bima merekam semuanya dalam hati. 15 menit saja, kamu milikku seutuhnya...desah Bima pelan.

***

OST : Inginku by Yovie and Nuno 

Tuesday, July 31, 2012

Ibu....


ost. When You Love Someone

 

Ijinkan saya bercerita, mengenai suatu masa dimana saya merasa ada.

Dua  belas tahun yang lalu...dalam suatu ruang, dimana yang ada hanya dia dan aku.
Napasnya teratur, selang-selang menjulur dari tubuhnya. Tetes cairan mengalir dengan teratur, masuk dan keluar dari tubuhnya.

Dia sangat cantik...selalu cantik..dulu maupun sekarang.
Aku mengaguminya, semua orang mengaguminya. Kecantikan dan kebaikan hatinya tak terperi. Seperti putri negeri dongeng.
Kududuk tenang disampingnya, melihatnya tidur sungguh merupakan sesuatu yang sangat berharga. Beberapa jam sebelum saat ini, rintihannya membuatku terisak tak terhingga, hingga perawat datang dan memberikan satu ampul baru dalam botol cairanmu, barulah engkau tenang dan tertidur.

Aku ingat, dua hari sebelumnya, aku diperlihatkan hasil pemeriksaanmu.
"Sudah terlambat. Maafkan saya"
Hanya itu yang bisa dikatakan orang berjubah putih itu.
Aku tertunduk, merenung. Memikirkan apa yang harus kukatakan pada kekasihmu, ayahku.
Dia yang mencintaimu dengan segenap hatinya. Kau harus melihatnya saat dia tergagu di hadapan para tamu, menjelaskan mengapa engkau pergi.
Tapi kurasa kau sudah tahu dari dulu...kau selalu tahu.

Dan saat itu, hanya ada kau dan aku. Seperti selama ini, hanya kita berdua. 
Kubelai lembut pipimu. Sudah berapa lama kau ditempat ini, seminggu, sebulan, tiga bulan. Betapa ingin aku membawamu pulang. Melihatmu memasak makanan kesukaanku, mendengar omelanmu, melihat dirimu berdandan, merasakan pelukanmu dan mendapat ciumanmu....satu kali lagi saja...


Napasmu memburu, matamu membuka, badanmu mengejang.

Sakit..sakit..sakit...

Aku bisa merasakan kesakitanmu. Airmataku mengalir, aku tahu..aku tahu apa yang harus kulakukan.
Kubelai lembut rambutmu, kugenggam tanganmu. Kubisikkan kata-kata, betapa aku menyayangimu. Aku tahu, bahwa kau bertahan demi diriku. Kukatakan padamu bahwa aku akan kuat, aku akan bahagia, dan aku akan membuatmu bangga. Walau dalam hati, aku takut dan tak rela melihatmu pergi.

Kulantunkan doa Salam Maria, dan lamat kau mengikuti, di sela-sela napasmu yang semakin memburu. Kuantar kau sampai napasmu melemah dan tak terdengar lagi...
Aku mundur..terduduk..pikiranku mengambang...kumelangkah keluar, kupanggil perawat lalu ku melangkah ke arah telepon. Betapa sulit mengeluarkan kata-kata itu dari mulutku...
"Papa...mama sudah meninggal"

Ku tak ingat apa yang kudengar, ku melangkah keluar, pantai menampakkan keindahannya. Matahari baru saja menampakkan wajahnya. Berkas sinar keemasan memantul dari buih putih ombak.
Suara deburan ombak mengalun...mataku kering...dan tetap kering..hingga hari ini..


Hari ini, aku terlempar kembali ke masa itu, masa dua belas tahun silam.
Hari ini, aku diijinkan untuk berduka...


Cinta, tidak pernah terhenti oleh suatu masa, suatu ruang.
Cinta selalu bebas, tak terhenti oleh apapun.


Dan aku kembali mencium harum melati, mencium embun pagi dimana kau selalu ada di kebun bungamu.
Harum tanah basah, saat aku mengikutimu kala hujan. Rintik air terasa di kulitku.
Masakan hangat, perasaan tenang ketika melihatmu berada disana.
Senyum lembutmu, ketika kau memastikan bahwa aku sudah makan hari ini.
Usapan tanganmu ketika kau menyusup masuk dikamarku setiap malam, ketika aku sudah terlelap.
Melepas kacamataku, memberikanku ciuman lembut dan menghantarku ke alam mimpi dengan ucapan "Mama sayang Nana"
Yang kali ini, bisa kukatakan kembali "Nana juga sayang Mama"



seminggu yang lalu, 24 Juli tahun 2012, aku kembali terdampar dalam sebuah ambigu masa
suatu dejavu dan peristiwa yang mengguncang rasa
aku berduka atas apa yang telah dan akan terjadi
satu dimensi waktu yang akan selamanya terekam dalam sel-sel kelabu
satu kenangan yang tak dapat terlepas, aku sendiri dalam duniaku
tak ada yang akan memahami apa yang kurasa saat itu
panca inderaku merasakan semuanya
hingga tubuhku tak sanggup menerimanya
satu lantunan kata yang terus menerus terulang dari bibirku
Nana sayang ibu, Nana sayang ibu, sayang...sayang sekali..
padamu ibuku saat ini, dan untuk ibu yang telah meninggalkanku duabelas tahun silam
aku menyayangi kalian dengan teramat sangat...
 

Monday, July 23, 2012

Satu Masa

Terbayang satu masa
Di kala senja merasa
Satu saat suatu waktu
Kau dan aku menyatu

Suatu masa
Dimana selamanya ada
Ketika hati berusaha menyingkirkan rasa 
Asa terbilang dan curiga menghilang


Kepak sayap yang terluka
Tinggi di angkasa
Hati menerawang jauh
tanpa tahu dimana berlabuh


Ada suatu masa
ketika aku menoleh 
dan kau ada


Dan kini tiba suatu masa
ketika aku merasa
bahwa kau tak lagi ada


Tak apa
Dalam satu masa
yang kelak akan ada


satu waktu ku kembali
ketika ku menoleh dan ada


pasti
suatu masa

Tuesday, March 6, 2012

Sebuah pengantar

Bima mengintip dari balik celah pintu, gadis itu bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap nanar keluar jendela memandangi langit biru yang memamerkan keindahan dan cerahnya hari. Sesekali angin berhembus masuk, helai-helai rambut gadis itu turut menari..indah. Bima masih berdiri, kakinya ragu untuk melangkah masuk. Gadis itu pun tampak tak menyadari ada sesosok manusia yang hadir disana. Cairan infus menetes pelan, baru diganti sepertinya, batin Bima, karena semalam botol itu bukan berwarna merah.

Gadis itu menghela napas, tiba-tiba kepalanya berpaling ke arah pintu. Entah refleks apa yang membuat Bima meloncat mundur, dia tiba-tiba tidak ingin terlihat. Pelan-pelan dia melangkah mundur, takut bahwa langkah kakinya terdengar. Dia putuskan untuk kembali pulang ke rumah, toh gadis itu, yang bernama Nina, tidak tahu bahwa dia disana.

Sesampainya di parkiran motor, Bima tercenung. Teringat dia betapa sedihnya Nina saat menatap keluar. Sebagai seseorang yang mengenal Nina begitu baik, dia tahu pasti bahwa Nina pasti luar biasa bosan berada di tempat itu. Tangannya bergegas mencari-cari di dalam saku. Ditariknya keluar sebuah telepon genggam. Ditekannya angka 9. Sebuah nama dan foto terpampang, foto Nina tertawa dengan dua jari ala Jepang, pose kesukaannya.

"Bunciiiisss! Kok ga kesini?"

Bima tersenyum

" Gak ah, males kesana, mending jalan-jalan, segerrrr "

Hening...

"Curang...aku ga bisa ikut.."
"Eh, sapa bilang? Kamu mau kemana?"
"Heh? mmm..kemana ya..pengen jalan-jalan aja"
"Aku mau makan lotek sagan sambil minum es pisang ijo, mau ikut ga?"
"Buncis jahat...gimana caranya..kamu kan tau.."
"Ssst..berisik ah..aku kan nanya, kamu mau ikut ga? Jawab mau apa gak aja panjang amat"
" Mau...."
"Yawda, pegangan ya"
"Hah? Kamu lagi ngapain? Kok kresek2 suaranya?"
" Mau ngajak kamu jalan-jalan. Pegangan ya, ni aku dah jalan"
"Jalan?? Naik motor?? Kok bisa masih ngobrol?? Bukannya handsfreemu ilang??"
" Emang masi ilang" Bima setengah berteriak, dia tahu kondisi seperti ini konsentrasinya harus berlipat dua apalagi lalu lintas lumayan ramai.
" Kok bisa?? Wuaaaaa..!! Seruuuu!! itu suara angin ya, rame cis jalanan?" suara Nina terdengar gembira. Bima bisa membayangkan wajah gadis itu saat ini, pasti sedang tersenyum besar sekali.
"Bisa donk, aku jepit di helm, agak sempit tapi masih bisa kok"
"Bima gilaaaa!! Hahahahaha...Seruuuu!!"

Aah..betapa Bima sangat bahagia mendengar tawa gadis itu. Sambil mengendarai motor dia lalu bercerita mengenai apa saja yang dilihatnya. Nina mendengarkan sambil sesekali menimpali. Bima bahkan bisa merasakan tangan gadis itu di pinggangnya. Andai saja dia bisa membawa Nina pergi saat ini, apapun akan dia lakukan untuk bisa mewujudkan itu.


----------------------------------------****-------------------------------------------------

Sunday, February 5, 2012

Refresh your mind, refresh your soul



February, 2012

Setelah berjibaku dengan segala rutinitas, akhirnya saya memutuskan, saatnya untuk melakukan petualangan kecil untuk meredakan ke-hectic-an pikiran.
Sebenarnya perjalanan ini sudah direncanakan lama, namun dengan berbagai pertimbangan seperti ini harus ikut, waktu yang terlalu mepet, serta segala tetek bengek tidak penting lainnya, perjalanan ini selalu tertunda. Akhirnya kuputuskan, Now or Never! Kalau ga ada yang nemenin pun, sok atuh, berangkat aja, hajar bleh. Dan...finally..perjalanan ke Kebun Raya Bogor pun dimulai.

Jam 6 pagi, setelah semalaman menyiapkan ransel, kostum dan juga sarapan dulu (persiapan perut penting biar perjalanan nyaman) aku berangkat ke Stasiun Gambir. Rencana memang ingin naik kereta ke Bogor. Selain karena belum pernah naik KRL Commuter (pengen ngerasain) juga biar dapet sensasi yang berbeda, karena akan ada perjalanan pagi dari kos ke stasiun.

Perjalanan pagi lancar, lalu lintas jakarta bersahabat. Naik P20 dari lebak bulus, sampailah di Gambir. Sambil menunggu kedatangan teman, Dian, saya pun mengisi perut (lagi) dengan roti dan air putih *) . Tujuan sebenarnya lebih ke mencari tempat duduk, jadi cari tempat yang comfort aja. Setelah yang dinanti datang, langsung beli tiket KRL. Murah! Cuma 7 ribu rupiah. Langsung saja, kami berdua menunggu di peron. Hari Minggu itu tidak terlalu ramai, dan para pengunjung juga bermacam-macam. Dari keluarga yang hendak jalanjalan, pengendara sepeda, sekelompok mahasiswa..hmmm..tampaknya bukan hanya kami berdua yang ingin bersenang-senang hari itu.

Ketika kereta datang, kami mengambil kereta paling ujung. Ternyata itu adalah kereta khusus wanita. Ada penjaganya juga, jadi ketika ada seseorang berkelamin non-wanita, langsung disuruh pindah.
Saya pribadi melihat kereta ini sebagai kereta ibu dan anak saking banyaknya bayi disana.
Still, keretanya nyaman. Kursinya empuk, bersih, dan dingin. Saya yang merasa kurang tidur langsung mengantuk. Perjalanan kereta memakan waktu kurang lebih1,5 jam.



Sampainya di Bogor (Dian yang baik membangunkan saya), saya langsung semangat 45. Okeh! Kemana arah kita melangkah? Saya putuskan bahwa Istana Bogor menjadi tujuan pertama. Keluar dari stasiun, kami berdua naik becak ke Istana Bogor. Seturunnya di Istana Bogor, sekeliling tepat itu dipenuhi oleh keluarga-keluarga dengan anak kecil mereka yang beramai-ramai memberi makan rusa. Saya dan Dian juga tidak mau kalah, setelah membeli wortel dan kangkung (seribu rupiah satu ikatnya) saya (berebutan sama anak kecil sebelah) mulai memberi makan rusa. Kalau dari desain, sepertinya rusa-rusa itu tidak seharusnya terlalu dekat dengan pagar karena ada got/selokan air yang cukup lebar menghalangi pagar dengan tempat rusa-rusa itu ada. Tapi entah memang disengaja atau tidak, selokan itu kering, dan rusa-rusa itu pun dengan jinaknya bisa makan dari tangan kami.


Setelah puas memberi makan rusa, waktunya untuk menikmati makanan khas kota Bogor. Dian yang sudah kelaparan, akhirnya mengajak berkeliling untuk mencari mangsa. Pilihan jatuh di Soto Mie Bogor depan gedung Kejaksaan Bogor. Harga satu porsinya 7ribu rupiah saja. Kenyang!
Perut sudah terisi, waktunya berjalan kaki keliling kota, tujuan selanjutnya adalah Kebun Raya Bogor. Bermodalkan tampang lempeng dan tanya kanan kiri, sampai juga kami di Kebun Raya Bogor. Cuaca sangat bersahabat hari itu, terang dan cerah sekali. Harga tiket masuk cukup 10ribu rupiah sahaja. Pengunjung Kebun Raya cukup padat, tetapi tidak terlalu padat sehingga masih nyaman untuk menikmati suasana. BEgitu masuk, kami diserang dengan serbuan oksigen dari ribuan pohon yang tumbuh di sana. Seketika paru-paru saya kegirangan, sungguh, suasananya sangat menyenangkan! Hijau dimana-mana, udara bersih, bahkan suara kendaraan pun teredam. Saya betah sekali!Burung-burung dan binatang-binatang kecil bebas berkeliaran. Ini benar-benar surga...
Sambil tiduran di rumput, memeluk pohon, oh iya..saya benar-benar kayak anak hutan ketemu induknya, cuek aja dengan tatapan aneh pengunjung lainnya.

Sambil menikmati udara dan juga pemandangan yang sangat menyegarkan itu, saya berkhayal andai saja di Jakarta ada tempat seperti itu. Memang ada Ragunan yang juga banyak pohonnya (thanks God), tetapi dibandingkan Kebun Raya Bogor, Ragunan belum ada apa-apanya. KEnapa ya orang-orang kaya Jakarta gak patungan aja beli tanah, kemudian kita bangun bersama untuk hutan kota. Saya yakin banyak yang mau jadi donatur. Jadi untuk cari oksigen bersih kita gak perlu jauh-jauh ke Bogor. Low Carbon footprint donk!

Tiga setengah jam kami habiskan di sana. Puas deh jalan-jalannya, ke Museum zoologi, liat bunga bangkai yang sudah kuncup, taman anggrek, monumen Lady Raffless, Istana Bogor, tidak terasa perut sudah mulai protes lagi. Jadi sekarang adalah mencari makan! Yups, this traveling selain jalan kaki dan menikmati alam tujuannya adalah Wisata Kuliner saudara-saudara. Harap maklum.

Karena memang tidak menggunakan rencana apa-apa, hanya berdasarkan spontanitas dan mengikuti arah kaki melangkah. Kami menyusuri Pasar Bogor. Banyak buah-buah yang saya belum pernah lihat sebelumnya, belum lagi dengan bunga-bunga potong yang tertata apik di pinggir jalan. Sayangnya, jalanan sangat padat dengan kendaraan jadi agak kurang nyaman kalau jalan kaki. Akhirnya ketemu dengan mini food court tradisional. Saya pesan...mmmm...laksa Bogor satu dan cakwe. Dian pesan toge gorang dan risol. Lumayan, harganya semua dibawah 10ribu. Bogor murah cyiiin!

Setelah terisi, saya teringat ada tempat makanan enak dan comfort di Bogor. Namanya Pia Apple Pie. Tempatnya inget, tapi alamatnya wala hualam. Sebelum pusing dengan pencarian tempat, saya ajak Dian beli Asinan Bogor dulu di Gedong Dalam. Dari sana, mulailah pencarian alamat. Berbekal BB dengan mbah google-nya yang maha sakti, kami dapatkan alamatnya. tapi kesananya bagaimana? Bogor ga ada taksi, jadi jalan satu-satunya adalah naik angkot. Daaaan, ternyata...jalur di bogor cukup ajaib. Saking banyaknya angkot, dan karena buta arah juga, kami berdua 5 kali naik turun angkot. Karena kesel dan udah mulai sore, ditambah mendung sudah menggelayut di langit, saya telpon tempat penjualannya. Dibantu arah-arahan dari sang penjual, kami sampai juga di tempat tujuan (yang ternyata kami cuma muter-muter aja di tempat yang sama dari tadi). Dan kelelahan kami terbayar lunas, sepiring Apple Pie hangat, ditambah wedang Bajigur menemani sore yang dingin.

Bogor memang mengagumkan. Setelah puas berjalan-jalan, kami pun berpamitan dengan kota Oksigen ini. Kami berdua kembali ke Jakarta, kembali ke udara polusi, gersang dan rutinitas sehari-hari.
Tapi tidak mengapa, Bogor hanya 1,5 jam saja. Dan kapanpun kami mau, kami bisa selalu kembali kesana. Total biaya yang saya keluarkan pun sangat-amat-sedikit. A really low budget travelling. Thank you Bogor, kau membuat jiwa dan pikiranku sehat kembali dengan oksigen, pohon dan rusa-rusamu.
Sampai bersua kembali, dan terima kasih atas kenangan ini :)



*) catatan penting buat wanderer, selalu pesan air putih di botol. Selain bisa dibawa kalau tidak habis, akan menjadi bekal di perjalanan.

Sunday, January 8, 2012

Just because

I know how it feel
To dance in the rain, as it can deceive people from tears that runs through my eyes
To cried for help and no one seems to listen
To give a smile so that no one would asking question
To stand out tall so the one i care about could have someone to hang on to
To wondering why it feels hollow inside when its not supposed to be
To understand others while not being understood
To asking question and searching for answer
To lose everything and lived as a survivor

Because and just because...
I know how it feel