Tuesday, March 31, 2009

a long poetry in the night

Jiwaku kelam terdampar
Gelap dunia terhampar
Menanti seberkas sinar
Seluruh alam berkelakar
Gemuruh kudengar

Hitam kelam
Dimanakah setitik terang
Sejauh mata memandang
Hanya hampa terbentang
Berdiri sunyi di tengah padang

Gersang kering tanah bumi
Terpaku terpijak terasa sesak
Lari dan terus berlari
Mencari sesuatu yang tak berderak
Sudahlah habis nafas ini

Dimanakah cahaya rembulan
Dimanakah embun pagi
Dimanakah sinar mentari
Dimanakah ufuk senja
Dimanakah ujung yang kucari
Aku sudah merasa lelah

Awan teguh berarak di angkasa
Tengadah aku memandang
Dengan cepat warna berganti
Dan kuterbaring
Rebah dan menggigil

Kau dan aku tak terpahami
Berharap tuk peduli
Pikiran terselubung misteri
Tuli sudah atas ego diri
Lubuk hati yang tersakiti

Kuberteriak mengapa kau tak mendengar
Kumenangis mengapa kau tak peduli
Kubertahan dan mencoba memahami
Maafkan aku yang tak mampu

Kuhirup nafas merangkum semesta
Air mataku telah lama mengering
Langit menangis menggantikanku
Basah menyirami sekujur tubuhku
Kupejamkan mataku
Berharap semua kan sirna

Dimanakah tempat yang kutuju
Adakah engkau tercipta
Adakah engkau ada
Apakah aku yang mencipta
Mampukah tangan lemah ini
Menggapaimu

Kelam hitam duniaku
Sunyi sepi kering dan gersang
Adakah engkau rela memasukinya
Terperangkap di dalamnya
Dimana tak ada yang abadi
Dalam sekejap mata akan terganti

Mampukah kau bertahan
Di dalam dunia kelamku
Mampukah kau memelukku
Yang penuh dengan onak duri

garengpung

Hari ini terasa panas sekali. Diluar terdengar bunyi gareng berkeriap-keriap, suara yang sangat menyejukkan hati.
Aku pernah bertanya pada papaku, suara itu dari mana? Maklum aku tinggal di daerah perkotaan, dan seingatku, selama 13 tahun aku tinggal di rumah ini, belum pernah aku mendengar suara itu sebelumnya.
Kata papa, itu suara gareng, binatang kecil seperti jangkrik yang biasa tinggal di pepohonan. Biasanya, jika suara itu muncul berarti pertanda akhir musim penghujan.
Karena belum pernah melihat wujud gareng sebelumnya, penjelasan papa tadi kuiyakan saja. Toh, bukan wujudnya yang menarikku tapi suaranya.

Kini setiap pagi, dengan setia aku mendengarkan suara gareng. Sebagai ‘pengacara’ alias pengangguran banyak acara, bukan hal yang sulit untuk mencuri waktu 15 menit hanya untuk melamun sambil mendengarkan.
Agaknya memang benar musim penghujan sudah berakhir, buktinya aku tidak perlu lagi bolak-balik mengangkat jemuran gara-gara hujan. Melegakan juga, karena sudah pasti pakaianku langsung kering setelah dicuci, tidak seperti minggu-minggu lalu yang bisa 3 sampai 4 hari. Itu saja belum kering benar dan kuangkat semata-mata supaya tempat jemurannya bisa kuakai lagi untuk cucian baru. Tapi sejujurnya...aku kangen sekali dengan musim hujan....

Dari segala musim, musim penghujan lah yang paling aku sukai. Mungkin karena auranya yang sendu atau karena hawanya yang dingin, atau karena tetasan airnya, yang dulu ketika aku kecil kukira adalah tetesan mata para malaikat....entahlah, aku tidak punya alasan yang jelas. Yang pasti aku suka dengan musim itu. Paling menyenangkan saat musim hujan adalah membuat secangkir soklat susu hangat, membaca buku, sambil ditemani rintik hujan dan hawa dingin. Atau bisa saja bermain air di tengah hujan, mencium bau tanah basah, melihat betapa segarnya dunia setelah seharian tersiram air hujan.
Memang tidak semua mengnai hujan menyenangkan. Selain soal jemuran tadi, pulang malam sambil kehujanan sangat tidak dianjurkan. Apalagi kalu misalnya tinggal di daerah rawan banjir. Bisa siang malam khawatir dan turunnya hujan bukan suatu kenikmatan lagi melainkan petaka.
Namun, diatas semua itu. Musim hujan tetap saja musim favoritku. Dan menyadarinya pergi, membuatku sedikit sedih.

Suara gareng kembali menyadarkanku...suara indah yang menandai berlalunya hal yang kusayangi...
Betapa ironisnya suara yang kusukai mengabariku bahwa masa kesayanganku sudah berlalu...
Mungkin akan selalu ada musim-musim penghujan lain yang akan kulalui...tapi yang sudah berlalu akan selamanya berlalu dan tak tergantikan...As a candle that been lighten, it could never be as beautiful as it first lit.

There are differences between happiness and pleasure
Happiness is momentary - only happen once and unrepeatable
Pleasure is what people do to gain memory of what they called happiness
(socalledpoet)