Sunday, May 24, 2009
Susah ga susah tetep....
Jaman lagi susah. Hmmm...apa iya siy?
Ada yang mengangguk setuju, tapi gak sedikit yang bilang. Ah biasa aja tuh!
Memang, akhir-akhir ini topik yang memprihatinkan (bagi saya pribadi) banyak muncul di headline media komunikasi. Mulai dari koran, berita TV sampai infotainment.
Dari dampak resesi global sampai proses pemilu presiden. Kayaknya kok tidak bisa dibilang berjalan mulus.
Setiap orang bisa memilih sudut pandang masing-masing. Jika dilihat dari kacamata orang yang mendapat pemberitahuan mendadak dari perusahaan bahwa dirinya sekarang mendapat PHK, well...jaman emang susah sodara-sodara. Tapi kalo dilihat dari para remaja yang membawa 'BB' ke sekolah, ya hidup indah-indah aja (tergantung siy, kalo dilihat dari ribetnya peraturan sekolah yang ngelarang ini itu apa ortu yang cerewet, my life miserable! )
Memang sih, definisi 'susah' itu relatif, sekali lagi, tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Ada yang hidupnya pas-pasan, bahkan buat makan aja gak bisa setiap hari, tapi merasa bahwa hidupnya bahagia dan tidak kekurangan apapun. Ada juga yang uangnya bertumpuk-tumpuk sampai tujuh turunan gak abis-abis, tapi merasa hidupnya penuh dengan kekhawatiran dan ketakutan.
Aku jadi teringat suatu peristiwa. Saat itu saya sedang menunggu seorang kawan di food court sebuah mall di Jakarta. Waktu itu hari minggu, jadi suasananya ramai sekali. Hampir saja saya gak bisa dapet tempat duduk. Karena gak enak kalo cuma duduk aja, kepaksa deh saya beli minuman dan makanan kecil -demi- supaya gak diusir.
Di depan saya duduk seorang ibu muda dengan 2 anak kecil, kira-kira berumur 5 dan 7 tahun. Di meja lain, dekat dengan mereka, duduk seorang wanita muda. Melihat seragamnya saya berasumsi dia adalah penjaga anak-anak itu.
Sebetulnya, saya tipe orang cuek. Namun saat itu, mungkin karena bosan menunggu atau juga karena penghuni meja epan saya itu ribut sekali, mau tidak mau perhatian saya tertuju pada mereka.
Saya melihat, hanya dengan dua orang dewasa, pesanan makanan mereka cukup banyak. Sampai-sampai meja mereka tidak ada tempat kosong lagi. Setelah beberapa saat , mereka pergi. namun ada hal yang membuat saya terkejut, makanan mereka hampir-hampir tak tersentuh!
Mungkin hanya dimakan sesendok dua sendok, tapi selebihnya dibiarkan saja atau hanya diacak-acak.
Sebagai anak kos dengan gaji pas-pasan, hal itu otomatis menarik minat saya. Hati saya agak miris, mengingat jumlah makanan itu cukup banyak (kalau saya bungkus bisa buat makan temen-temen satu kos) Belum lagi harganya yang cukup mahal.
Ketika teman saya datang, saya ceritakan hal itu padanya. Tanggapannya cukup membuat saya terkejut, dia bilang: Lho, mereka kan sudah bayar, jadi gak masalah donk?
Wow...ternyata ada juga jalan pemikiran seperti itu. Asalkan mampu membeli, mereka berhak melakukan apa saja. Kasarannya, duit duit gue,terserah donk mau gue apain!
Saya jadi membayangkan, andaikata 'sisa' makanan itu diberikan kepada seorang kuli panggul di pelabuhan, pastilah makanan itu dapat memberikan tenaga yang cukup untuknya. Itupun masih ada sisa untuk dibawa pulang untuk keluarganya yang menanti di rumah.
Atau jika uang yang digunakan untuk membeli makanan itu diberikan pada seorang anak jalanan, mungkin dia dapat menabung untuk masa depannya.
Yeah...saya ga akan membuat demo untuk menuntut adanya satpammakanan di setiap gerai food court. Tapi setidaknya saya dapat memastikan bahwa orang yang makan bersama saya tidak menyia-nyiakan makanan yang dibelinya. Bagi saya pribadi, setiap makanan itu berkat. Dan bagi saya, alangkah berdosanya jika saya menyia-nyiakan berkat yang saya terima jika orang lain harus berjuang untuk mendapatkannya.
So kesimpulannya, jaman memang lagi susah. Susah untuk kesusahan yang ada, atau susah untuk merasakan susah? Nah loh, makin dipikir kok makin susah ya??
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment