*Klik* *klik*
Mataku menatap ke barisan kalimat yang berada di depan layar.
Sudah 4 tahun berlalu, namun aku menyukainya.
Jadi...sekarang...aku akan menuliskannya kembali.
How many times do I write these word..
hundred..thousands..
yet it still not appear in front of my eyes...
As day passes..hours ticking..and moment moving...and it drag me here...
right here through this exact moment.
Moment where it lost it meanings
the day she went away.
And things slowly slipping..
Right in front of my eyes..
Falling like leaves on autumn days..right on september.
Leave nothing but an empty shell..
Hollow as a soul of a mourned fellow..
A stranger in silent..my own heart that I can touch..
Being aside and forgotten.
This feeling has long been gone...the moment she went away.
A big hole inside...dark and cunning..an empty shell...
And I hear your song...humming through the rain...
I look back..but no one's there..
This journey hasn't ended
Till I finally found..
A place called home..
Jakarta 211210 inpouringrain
****
Wednesday, November 26, 2014
Friday, November 14, 2014
Kepada Orang Yang (Belum Pernah) Patah Hati
*tulisan ini terinspirasi dari video-blog Raditya Dika terbaru. Yang penasaran bisa coba klik kemari *
"Anggi, sini deh, lo pasti suka"
Penasaran, datanglah aku menghampiri meja Ridwan, sohib kantor seberang meja. Gak biasa-biasanya anak itu semangat kayak gini.
"Nih, video baru Raditya Dika. Kali ini gue akuin bagus"
Klik. Klik.
Dan dimulailah video itu.
Sepanjang video, aku hanya terdiam.
Adegan demi adegan berputar di dalam kepalaku. Satu demi satu kata terangkai.
Dan inilah tulisanku.
***
Patah hati, bagi beberapa orang merupakan hal yang remeh, temeh, gak penting, mellow.
Tidak mengapa. Bisa jadi mereka belum pernah merasakan apa namanya jatuh cinta.
Biarkan saja. Sebab seperti cinta, patah hati tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan.
Dan ketika rasa itu datang, terbersitlah kalimat:
"Ah...ternyata begini rasanya"
Beberapa orang memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi patah hati.
Ada yang dengan sengaja "tenggelam" dalam kesedihannya, ada yang berusaha melupakan dengan menganggap tidak ada hal yang terjadi.
Ada yang secara sadar berulang-ulang memutar memori yang ada hingga mati rasa, ada yang mencari re-bound, ada yang kemudian menutup diri, ada juga yang gila-gilaan.
Semua mempunyai cara. Tapi hanya ada satu tujuan. Untuk memulihkan diri.
Pulih dari sakit membutuhkan waktu.
1 bulan...
1 tahun...
tidak ada yang bisa memastikan.
Waktu adalah satu-satunya kawan.
Kemudian, seiring waktu, kitapun belajar untuk kembali tersenyum
Melihat mentari dan melanjutkan hidup.
Bekas luka itu pasti akan selalu ada.
Anggap saja sebagai bentuk medali.
Untuk menghargai diri sendiri, bahwa kita sanggup melaluinya.
***
Untuk kalian yang belum pernah merasakan patah hati,
Kami doakan, kalian tidak akan pernah merasakannya.
Bantulah kami untuk melalui proses ini.
Cukup dengan menemani, tanpa bertanya.
Jika kami siap, kami akan bercerita.
Namun jika belum, berikan kami sedikit waktu.
Dan semoga, siapapun yang pernah merasakan patah hati, akan menemukan seseorang yang mampu membalut luka itu.
much love,
aku yang sedang menyembuhkan luka
"Anggi, sini deh, lo pasti suka"
Penasaran, datanglah aku menghampiri meja Ridwan, sohib kantor seberang meja. Gak biasa-biasanya anak itu semangat kayak gini.
"Nih, video baru Raditya Dika. Kali ini gue akuin bagus"
Klik. Klik.
Dan dimulailah video itu.
Sepanjang video, aku hanya terdiam.
Adegan demi adegan berputar di dalam kepalaku. Satu demi satu kata terangkai.
Dan inilah tulisanku.
***
Patah hati, bagi beberapa orang merupakan hal yang remeh, temeh, gak penting, mellow.
Tidak mengapa. Bisa jadi mereka belum pernah merasakan apa namanya jatuh cinta.
Biarkan saja. Sebab seperti cinta, patah hati tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan.
Dan ketika rasa itu datang, terbersitlah kalimat:
"Ah...ternyata begini rasanya"
Beberapa orang memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi patah hati.
Ada yang dengan sengaja "tenggelam" dalam kesedihannya, ada yang berusaha melupakan dengan menganggap tidak ada hal yang terjadi.
Ada yang secara sadar berulang-ulang memutar memori yang ada hingga mati rasa, ada yang mencari re-bound, ada yang kemudian menutup diri, ada juga yang gila-gilaan.
Semua mempunyai cara. Tapi hanya ada satu tujuan. Untuk memulihkan diri.
Pulih dari sakit membutuhkan waktu.
1 bulan...
1 tahun...
tidak ada yang bisa memastikan.
Waktu adalah satu-satunya kawan.
Kemudian, seiring waktu, kitapun belajar untuk kembali tersenyum
Melihat mentari dan melanjutkan hidup.
Bekas luka itu pasti akan selalu ada.
Anggap saja sebagai bentuk medali.
Untuk menghargai diri sendiri, bahwa kita sanggup melaluinya.
***
Untuk kalian yang belum pernah merasakan patah hati,
Kami doakan, kalian tidak akan pernah merasakannya.
Bantulah kami untuk melalui proses ini.
Cukup dengan menemani, tanpa bertanya.
Jika kami siap, kami akan bercerita.
Namun jika belum, berikan kami sedikit waktu.
Dan semoga, siapapun yang pernah merasakan patah hati, akan menemukan seseorang yang mampu membalut luka itu.
much love,
aku yang sedang menyembuhkan luka
Tuesday, October 28, 2014
Resume Kabinet Jokowi : Sebuah Opini dan Harapan
Jakarta, 28 Oktober 2014.
Hari ini, media harian KOMPAS mengangkat tajuk “Presiden: Lepas Ego
Sektoral”. Bagi saya pribadi hal ini merupakan pernyataan yang melegakan.
Beberapa tahun belakangan, pengalaman bekerja bersama dengan instansi-instansi pemerintah
dengan ego sektoral yang tinggi membuat pekerjaan saya terasa kurang efektif. Hal
ini dikarenakan adanya keengganan beberapa instansi untuk bekerjasama apabila
inisiatif dilakukan oleh Kementerian lain. Sasaran program juga menjadi
terbatas, dan terjadi kebingungan di tingkat masyarakat sebagai pelaku
kebijakan disebabkan adanya beberapa program yang terduplikasi. Otomatis
alokasi sumber daya manusia serta waktu menjadi berlipat untuk melakukan program
yang sama. Dengan adanya pernyataan dari Presiden Joko Widodo untuk melepas ego
sektoral ini, diharapkan Kementerian-kementerian akan dapat bekerja dalam satu
kesatuan sehingga akselerasi pencapaian tujuan dapat terjadi.
Peleburan UKP4 atau Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan di
dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) juga
merupakan suatu sinyal positif. UKP4 selama ini bertugas untuk
memastikan kelancaran program-program Kabinet Indonesia Indonesia Bersatu di
bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan adanya penghapusan
ini, diasumsikan fungsi UKP4 akan diambil alih oleh Presiden.
Program Lingkungan di bawah Kabinet Joko
Widodo
Presiden Joko Widodo
memberikan waktu dua bulan bagi menteri Siti Nurbaya Bakar untuk
merustrukturisasi lembaga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian
Kehutanan. Peleburan dua Kementerian ini menimbulkan sebuah pendapat pro dan
kontra. Ada suatu pendapat menarik yang saya baca di Kompas. Mengutip dari
tulisan tersebut: “banyak pegawai merasa kecewa karena nama “Kehutanan”
mengekor pada “Lingkungan Hidup””. Bagi saya, “Hutan” memanglah merupakan
bagian dari “Lingkungan Hidup” sehingga adanya kekecewaan merupakan hal yang
aneh. Justru dengan bergabungnya dua sektor ini, ada harapan bahwa akan sektor
kehutanan akan dapat menyeimbangkan antara sektor ekonomi dengan kelestarian
hutan.
Sebagai anak yang lahir di Kalimantan, saya
sangat miris melihat kondisi hutan di pulau kelahiran saya. Dulu sepanjang mata
memandang, yang saya lihat adalah hutan dengan pepohonan lebat khas hutan
tropis. Karakter jalan raya di sana adalah satu sisi hutan, dan satu sisi
jurang. Namun itu adalah kondisi 20 tahun
yang lalu. Saat ini, hutan-hutan tersebut dapat dikatakan telah habis. Tidak
ada lagi payung rindang pepohonan di sisi jalan. Di kanan kiri jalan lintas
kota yang ada hanya tunggul-tunggul pohon. Perjalanan pulang yang seharusnya
membahagiakan menjadi menyedihkan.
Ketika mendengar
adanya peleburan dua Kementerian ini, yang terbersit di benak saya adalah
harapan. Walaupun nama menterinya tidak familiar, tapi saya memiliki kepercayaan
bahwa beliau tentunya tidak asal dipilih untuk menduduki jabatan yang
sedemikian vital. Apalagi dengan banyaknya masalah yang memerlukan tindakan
tegas di sektor kehutanan, coba-coba jelaslah bukan suatu pilihan.
Saya kemudian membaca artikel
dari Harry Surjadi
yang dishare teman saya Verena di sebuah media social. Tulisan beliau membuat
saya semakin yakin bahwa saya tidak salah menaruh harapan dalam kementerian
baru ini. Menurut Harry, akar persoalan hutan adalah "mengabaikan hak
masyarakat, terutama masyarakat adat atas hutan."
Kementerian Baru diarahkan
berkordinasi dengan Sekretariat Negara terkait dengan gedung dan perlengkapan.
Sehingga tidak ada alasan untuk tidak langsung bekerja.
Ini baru dari sisi hutan, banyak
sisi lain dari kelestarian lingkungan yang perlu dicermati oleh kabinet baru.
Perlu diingat bahwa Indonesia masih memegang komitmen nasional untuk
pengurangan emisi sebesar 26%. Sektor pengolahan limbah padat dan cair,
ketersediaan air bersih, konservasi dan juga penyediaan sumber energi alternatif,
serta proses industri dan pembangunan ramah lingkungan merupakan beberapa
pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
Mari Bekerja!
Membaca susunan para Menteri baru
di kabinet Joko Widodo, saya melihat beberapa nama yang tidak begitu familiar.
Setelah sekilas ditelusuri, beberapa menteri tidak memiliki pengalaman kerja
yang terkait langsung dengan bidang yang dibawahi. Sekilas terpikir, bahwa ini
merupakan suatu negosiasi. Sungguh naïf jika mengharapkan suatu kesempurnaan. Namun
saya mencoba berpikir positif, mereka bahkan belum mulai bekerja, siapa yang
bisa menghakimi kinerja mereka jika belum ada sesuatu yang bisa dinilai. Akhir
kata, sudah cukuplah komentar-komentar ini. Mari bekerja!
***
Wednesday, March 12, 2014
Happy Song!
Hi all!
Musik adalah salah satu hal terbaik yang pernah ada di dunia.
Headset+mp3 player itu salah satu perangkat wajib yang harus kujinjing setiap bepergian kemana-mana.
Kalau kalian satu suku denganku, ini ada beberapa list lagu yang bisa boost semangatmu. It works for me, I hope it does to you too.
Enjoy!
- The Best Day of My Life - American Authors
- Its Time - Imagine Dragons
- Brave - Sara Bareilles
- Do You Want To Build A Snowman - Frozen OST
- I'll be There For You - The Rembrandts
Friday, February 21, 2014
Bulan Purnama di Angkasa Malam
note : Hai kamu, Little Missy, tulisan ini untukmu
Jakarta, 21 February 2014
Pagi ini, di sela jadwal meeting yang luar biasa padat, mataku sekilas menatap ke arah lampu LED berwarna merah yang berkelap kelip meminta perhatian.
Tanganku spontan meraih telepon genggamku. Seraya mata memberikan perhatian 30% kepada atasanku yang tengah memberikan arahan untuk teleconference pagi ini, tanganku dengan cepat membuka notifikasi. Dan kutemukan sebuah mention :
Mataku menyapu cepat. Aku terhenyak, Little Missy menepati kata-katanya. Ingatanku melayang ke setahun yang lalu. Saat itu valentine day, dan aku menerima notifikasi serupa (bisa mengacu ke sini untuk tahu ceritanya).
Aku tersenyum. Nona satu ini memang tahu benar cara membuatku tersenyum.
Aku jadi teringat sebuah cerita.
Suatu saat, Matahari enggan menunjukkan wajahnya.
Seluruh semesta guncang, manusia tidak tahu apakah ini siang atau malam. Keadaan gelap dan dingin. Binatang-binatang menyembunyikan diri, tanaman tampak layu, tidak ada kehidupan di bumi.
Seorang malaikat tergugah, dia terbang ke langit dan menemui matahari.
Terkejutnya dia melihat Matahari tengah terisak. Sinarnya memudar jika tidak dapat dikatakan hampir padam.
Perlahan malaikat itu menanyakan, "Matahari, apa yang terjadi, kenapa engkau menangis?"
"Aku kesepian, saat aku ada di atas, aku melihat bahwa setiap mahluk memiliki teman. bahkan jika mereka tidak berteman, mereka ada disana bersama-sama. Bahkan Bulan pun memiliki bintang-bintang sebagai teman. "
Malaikat itu menghela napas,
"Sungguhkah engkau berpikir begitu? Mari, ikutlah denganku.
Malaikat itupun mengajak Matahari menuju suatu tempat. Tempat itu terasa dingin dan kering. Suram sekali keadaan di sana. Matahari sudah tak lagi menangis, dia melihat sekelilingnya dengan rasa penasaran.
"Lihatlah kesana." tunjuk malaikat itu.
Dan disana, sebuah bentuk tengah mengkerut. Bentuknya hampir hilang.
Matahari mendekat, dia penasaran apakah itu.
"Bulan? Mengapa dia jadi begini?"
"Dia kehilanganmu. Tahukah kau, dia selalu menemanimu, bahkan saat kau tidak tahu. Dia bersembunyi diantara awan. Namun apa daya, dia tak dapat mengatakan apapun karena dia tak dapat bicara"
Matahari mendekati Bulan. Bulan menengadahkan wajahnya, matanya seketika bersinar. Namun tak ada kata yang keluar. Beberapa saat mereka berpandangan.
"Bulan adalah refleksimu Matahari. Dia hanya dapat megeluarkan sinar, jika engkau pun bersinar."
Matahari terdiam sejenak. DIsentuhnya tubuh Bulan yang mengkerut hampir tak berbentuk.
Tak berkata apa-apa, Matahari kemudian pergi, dan menempati posisinya kembali.
Bumi pun kembali seperti semula, kehangatan sinar Matahari membuat segala sesuatunya kembali hidup.
Malamnya, Bulan menampakkan sinarnya dengan sangat terang. Malam itu, Bulan purnama menampakkan wajahnya yang cantik.
Aku kembali menghadap ke dokumen-dokumen yang menumpuk di hadapanku.
Tetapi hatiku terasa hangat. Aku percaya, bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Segala sesuatu sudah ada didalam suatu rancangan besar yang maha dahsyat.
Tahukah kau hai little missy, bahwa cinta melampaui batas ruang dan waktu.
Kita adalah jiwa yang memiliki tubuh. Dan ketika tubuh tak lagi ada, jiwa itu tetap ada. Dia berada di tempat yang tak terlihat, dan entah dengan cara apa, selalu berupaya agar kita tau bahwa kita tak pernah sendiri.
Jika kau merasa sendiri, tadahkanlah wajahmu ke langit, rasakan angin yang menyapu lembut wajahmu, tataplah dia yang jauh diatas sana, yang kutahu pasti menatapmu kembali dengan menyunggingkan senyum.
Terimakasih karena telah hadir dalam hidupku.
Tak ada yang sempurna. Perjalanan kita masih panjang. Tetaplah tersenyum. You are forgiven.
Jakarta, 21 February 2014
Pagi ini, di sela jadwal meeting yang luar biasa padat, mataku sekilas menatap ke arah lampu LED berwarna merah yang berkelap kelip meminta perhatian.
Tanganku spontan meraih telepon genggamku. Seraya mata memberikan perhatian 30% kepada atasanku yang tengah memberikan arahan untuk teleconference pagi ini, tanganku dengan cepat membuka notifikasi. Dan kutemukan sebuah mention :
Mataku menyapu cepat. Aku terhenyak, Little Missy menepati kata-katanya. Ingatanku melayang ke setahun yang lalu. Saat itu valentine day, dan aku menerima notifikasi serupa (bisa mengacu ke sini untuk tahu ceritanya).
Aku tersenyum. Nona satu ini memang tahu benar cara membuatku tersenyum.
Aku jadi teringat sebuah cerita.
Suatu saat, Matahari enggan menunjukkan wajahnya.
Seluruh semesta guncang, manusia tidak tahu apakah ini siang atau malam. Keadaan gelap dan dingin. Binatang-binatang menyembunyikan diri, tanaman tampak layu, tidak ada kehidupan di bumi.
Seorang malaikat tergugah, dia terbang ke langit dan menemui matahari.
Terkejutnya dia melihat Matahari tengah terisak. Sinarnya memudar jika tidak dapat dikatakan hampir padam.
Perlahan malaikat itu menanyakan, "Matahari, apa yang terjadi, kenapa engkau menangis?"
"Aku kesepian, saat aku ada di atas, aku melihat bahwa setiap mahluk memiliki teman. bahkan jika mereka tidak berteman, mereka ada disana bersama-sama. Bahkan Bulan pun memiliki bintang-bintang sebagai teman. "
Malaikat itu menghela napas,
"Sungguhkah engkau berpikir begitu? Mari, ikutlah denganku.
Malaikat itupun mengajak Matahari menuju suatu tempat. Tempat itu terasa dingin dan kering. Suram sekali keadaan di sana. Matahari sudah tak lagi menangis, dia melihat sekelilingnya dengan rasa penasaran.
"Lihatlah kesana." tunjuk malaikat itu.
Dan disana, sebuah bentuk tengah mengkerut. Bentuknya hampir hilang.
Matahari mendekat, dia penasaran apakah itu.
"Bulan? Mengapa dia jadi begini?"
"Dia kehilanganmu. Tahukah kau, dia selalu menemanimu, bahkan saat kau tidak tahu. Dia bersembunyi diantara awan. Namun apa daya, dia tak dapat mengatakan apapun karena dia tak dapat bicara"
Matahari mendekati Bulan. Bulan menengadahkan wajahnya, matanya seketika bersinar. Namun tak ada kata yang keluar. Beberapa saat mereka berpandangan.
"Bulan adalah refleksimu Matahari. Dia hanya dapat megeluarkan sinar, jika engkau pun bersinar."
Matahari terdiam sejenak. DIsentuhnya tubuh Bulan yang mengkerut hampir tak berbentuk.
Tak berkata apa-apa, Matahari kemudian pergi, dan menempati posisinya kembali.
Bumi pun kembali seperti semula, kehangatan sinar Matahari membuat segala sesuatunya kembali hidup.
Malamnya, Bulan menampakkan sinarnya dengan sangat terang. Malam itu, Bulan purnama menampakkan wajahnya yang cantik.
Aku kembali menghadap ke dokumen-dokumen yang menumpuk di hadapanku.
Tetapi hatiku terasa hangat. Aku percaya, bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Segala sesuatu sudah ada didalam suatu rancangan besar yang maha dahsyat.
Tahukah kau hai little missy, bahwa cinta melampaui batas ruang dan waktu.
Kita adalah jiwa yang memiliki tubuh. Dan ketika tubuh tak lagi ada, jiwa itu tetap ada. Dia berada di tempat yang tak terlihat, dan entah dengan cara apa, selalu berupaya agar kita tau bahwa kita tak pernah sendiri.
Jika kau merasa sendiri, tadahkanlah wajahmu ke langit, rasakan angin yang menyapu lembut wajahmu, tataplah dia yang jauh diatas sana, yang kutahu pasti menatapmu kembali dengan menyunggingkan senyum.
Terimakasih karena telah hadir dalam hidupku.
Tak ada yang sempurna. Perjalanan kita masih panjang. Tetaplah tersenyum. You are forgiven.
***
Tuesday, January 21, 2014
Jakarta, Indonesia - A Sinking Giant
21 Januari 2014,
Kurang lebih sudah 6 tahun berlalu semenjak aku pertama kali membaca sebuah artikel dari Andre Vltcheck dengan judul yang sama dengan judul postingan blog ini, "Jakarta, Indonesia - A Sinking Giant".
And here I am, berada di salah satu sudut kota Jakarta. Diantara berita-berita yang memenuhi ruang publik di sosial media, terkait dengan bencana banjir di Jakarta. Ya, bencana, karena banjir ini telah mampu membuat kota Jakarta setengah lumpuh dan mengambil korban nyawa. Ratusan jiwa terpaksa tidur di pengungsian, dan hanya bisa pasrah melihat air memenuhi rumah mereka.
Selain itu, bagi mereka yang rumahnya aman, masalah tetap datang berupa padatnya arus kendaraan. Kemacetan memang satu paket dengan banjir. Dan dengan tingginya penggunaan kendaraan pribadi serta minimnya sarana transportasi umum, para komuter tidak punya pilihan lain selain menjalani ritual ini setiap musim penghujan datang. Perjalanan dari rumah ke tempat kerja bisa menjadi sebuah neraka kecil yang tak terelakkan.
Merenungi kata demi kata dari sebuah catatan 6 tahun yang lalu. Bertanya-tanya kenapa hal ini bisa terjadi. Apa yang bisa kita lakukan saat ini, sedangkan peringatan telah datang dari 6 tahun lalu dan tidak ada hal dilakukan untuk mencegahnya.
Mungkin ada baiknya saya bagikan artikel yang saya dapatkan dari sebuah milis di tahun 2008 lalu. Kata demi kata akan saya copy persis seperti aslinya.
Mungkin ini akan menggugah kita, mungkin kita hanya berkata: " Yeah, itu bukan hal yang baru". Tetapi setidaknya kita bisa melihat ke diri kita sendiri dan mencari sebuah solusi. Karena hanya ada dua pilihan, menjadi bagian dari solusi dan menjadi bagian dari masalah. Komentar saja tidak akan menyelesaikan apa-apa.
Jadi, di sisi mana anda berdiri?
Kurang lebih sudah 6 tahun berlalu semenjak aku pertama kali membaca sebuah artikel dari Andre Vltcheck dengan judul yang sama dengan judul postingan blog ini, "Jakarta, Indonesia - A Sinking Giant".
And here I am, berada di salah satu sudut kota Jakarta. Diantara berita-berita yang memenuhi ruang publik di sosial media, terkait dengan bencana banjir di Jakarta. Ya, bencana, karena banjir ini telah mampu membuat kota Jakarta setengah lumpuh dan mengambil korban nyawa. Ratusan jiwa terpaksa tidur di pengungsian, dan hanya bisa pasrah melihat air memenuhi rumah mereka.
Selain itu, bagi mereka yang rumahnya aman, masalah tetap datang berupa padatnya arus kendaraan. Kemacetan memang satu paket dengan banjir. Dan dengan tingginya penggunaan kendaraan pribadi serta minimnya sarana transportasi umum, para komuter tidak punya pilihan lain selain menjalani ritual ini setiap musim penghujan datang. Perjalanan dari rumah ke tempat kerja bisa menjadi sebuah neraka kecil yang tak terelakkan.
Merenungi kata demi kata dari sebuah catatan 6 tahun yang lalu. Bertanya-tanya kenapa hal ini bisa terjadi. Apa yang bisa kita lakukan saat ini, sedangkan peringatan telah datang dari 6 tahun lalu dan tidak ada hal dilakukan untuk mencegahnya.
Mungkin ada baiknya saya bagikan artikel yang saya dapatkan dari sebuah milis di tahun 2008 lalu. Kata demi kata akan saya copy persis seperti aslinya.
Mungkin ini akan menggugah kita, mungkin kita hanya berkata: " Yeah, itu bukan hal yang baru". Tetapi setidaknya kita bisa melihat ke diri kita sendiri dan mencari sebuah solusi. Karena hanya ada dua pilihan, menjadi bagian dari solusi dan menjadi bagian dari masalah. Komentar saja tidak akan menyelesaikan apa-apa.
Jadi, di sisi mana anda berdiri?
JAKARTA , INDONESIA - A SINKING GIANT?
by Andre Vltchek
Today, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehicles belch fumes on congested traffic arteries and super-malls have become the cultural centers of gravity in Jakarta, the fourth largest city in the world. In between towering super-structures, humble kampongs house the majority of the city dwellers, who often have no access to basic sanitation, running water or waste management.
While almost all major capitals in the Southeast Asian region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately 'pro-market' - profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.
Most Jakartans have never left Indonesia, so they cannot compare their capital with Kuala Lumpur or Singapore; with Hanoi or Bangkok. Comparative statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact that the Indonesian capital is for many foreign visitors a 'hell on earth,' the local media describes Jakarta as "modern," "cosmopolitan, " and "a sprawling metropolis."
by Andre Vltchek
Today, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehicles belch fumes on congested traffic arteries and super-malls have become the cultural centers of gravity in Jakarta, the fourth largest city in the world. In between towering super-structures, humble kampongs house the majority of the city dwellers, who often have no access to basic sanitation, running water or waste management.
While almost all major capitals in the Southeast Asian region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately 'pro-market' - profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.
Most Jakartans have never left Indonesia, so they cannot compare their capital with Kuala Lumpur or Singapore; with Hanoi or Bangkok. Comparative statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact that the Indonesian capital is for many foreign visitors a 'hell on earth,' the local media describes Jakarta as "modern," "cosmopolitan, " and "a sprawling metropolis."
Newcomers
are often puzzled by Jakarta's lack of public amenities. Bangkok, not exactly known as a user-friendly city,
still has several beautiful parks. Even cash-strapped Port Moresby, capital of
Papua New Guinea, boasts wide promenades, playgrounds, long stretches of beach
and sea walks. Singapore and Kuala Lumpur compete with each other in building
wide sidewalks, green areas as well as cultural establishments. Manila, another city without a glowing reputation
for its public amenities, has succeeded in constructing an impressive sea
promenade dotted with countless cafes and entertainment venues while preserving
its World Heritage Site at Intramuros. Hanoi
repaved its wide sidewalks and turned a park around Huan-Kiem Lake into an
open-air sculpture museum.
But in Jakarta, there is a fee for everything. Many green spaces have been converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The approximately one square kilometer of Monas seems to be the only real public area in a city of more than 10 million. Despite being a maritime city, Jakarta has been separated from the sea, with the only focal point being Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted with private businesses.
Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend approximately $4.50 (40,000 Indonesian Rupiahs) in entrance fees, something unthinkable anywhere else in the world. The few tiny public parks which survived privatization are in desperate condition and mostly unsafe to use.
But in Jakarta, there is a fee for everything. Many green spaces have been converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The approximately one square kilometer of Monas seems to be the only real public area in a city of more than 10 million. Despite being a maritime city, Jakarta has been separated from the sea, with the only focal point being Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted with private businesses.
Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend approximately $4.50 (40,000 Indonesian Rupiahs) in entrance fees, something unthinkable anywhere else in the world. The few tiny public parks which survived privatization are in desperate condition and mostly unsafe to use.
There
are no sidewalks in the entire city, if one applies international standards to
the word "sidewalk." Almost anywhere in the world (with the striking
exception of some cities in the United States, like Houston
and Los Angeles) the cities themselves belong to
pedestrians. Cars are increasingly discouraged from traveling in the city
centers. Wide sidewalks are understood to be the most ecological, healthy and
efficient forms of short-distance public transportation in areas with high
concentrations of people.
In Jakarta, there are hardly any benches for people to sit and relax, and no free drinking water fountains or public toilets. It is these small, but important, 'details' that are symbols of urban life anywhere else in the world.
Most world cities, including those in the region, want to be visited and remembered for their culture. Singapore is managing to change its 'shop-till-you- drop' image to that of the center of Southeast Asian arts. The monumental Esplanade Theatre has reshaped the skyline, offering first-rate international concerts in classical music, opera, ballet, and also featuring performances from some of the leading contemporary artists from the region. Many performances are subsidized and are either free or cheap, relative to the high incomes in the city-state.
Kuala Lumpur spent $100 million on its philharmonic concert hall, which is located right under the Petronas Towers, among the tallest buildings in the world. This impressive and prestigious concert hall hosts local orchestra companies as well top international performers. The city is currently spending further millions to refurbish its museums and galleries, from the National Museum to the National Art Gallery. Hanoi is proud of its culture and arts, which are promoted as its major attraction - millions of visitors flock into the city to visit countless galleries stocked with canvases, which can be easily described as some of the best in Southeast Asia. Its beautifully restored Opera House regularly offers Western and Asian music treats.
In Jakarta, there are hardly any benches for people to sit and relax, and no free drinking water fountains or public toilets. It is these small, but important, 'details' that are symbols of urban life anywhere else in the world.
Most world cities, including those in the region, want to be visited and remembered for their culture. Singapore is managing to change its 'shop-till-you- drop' image to that of the center of Southeast Asian arts. The monumental Esplanade Theatre has reshaped the skyline, offering first-rate international concerts in classical music, opera, ballet, and also featuring performances from some of the leading contemporary artists from the region. Many performances are subsidized and are either free or cheap, relative to the high incomes in the city-state.
Kuala Lumpur spent $100 million on its philharmonic concert hall, which is located right under the Petronas Towers, among the tallest buildings in the world. This impressive and prestigious concert hall hosts local orchestra companies as well top international performers. The city is currently spending further millions to refurbish its museums and galleries, from the National Museum to the National Art Gallery. Hanoi is proud of its culture and arts, which are promoted as its major attraction - millions of visitors flock into the city to visit countless galleries stocked with canvases, which can be easily described as some of the best in Southeast Asia. Its beautifully restored Opera House regularly offers Western and Asian music treats.
Bangkok's colossal temples and palaces
coexist with extremely cosmopolitan fare - international theater and film
festivals, countless performances, jazz clubs with local and foreign artists on
the bill, as well as authentic culinary delights from all corners of the world.
When it comes to music, live performances and nightlife, there is no city in
Southeast Asia as vibrant as Manila.
Now back to Jakarta. Those who have ever visited the city's 'public libraries' or National Archives building will know the difference. No wonder; in Indonesia education, culture and arts are not considered to be 'profitable' (with the exception of pop music), and are therefore made absolutely irrelevant. The country spends the third lowest amount in the world on education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP) after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly improving with the new progressive government).
Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no important international exhibitions. They look like they fell on the city from a different era and no wonder - the Dutch built almost all of them. Not only are their collections poorly kept, but they lack elements of modernity - there are no elegant cafes, museum shops, bookstores or even public archives. It appears that the individuals running them are without vision and creativity. However, even if they did have inspired ideas, there would be no funding to carry them out.
It seems that Jakarta has no city planners, only private developers that have no respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great majority, no matter what the understated and manipulated government statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which now controls almost everything, from residential housing to what were once public areas.
While Singapore decades ago, and Kuala Lumpur recently, managed to fully eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas, Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable housing equipped with running water, electricity, a sewage system, wastewater treatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a mass public transportation system.
Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants boasts one metro line (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines, suburban train links and high-speed rail system connecting the city with its new capital Putrajaya. The "Rapid" system counts on hundreds of modern, clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on "Rapid" costs only $.60 (2 Malaysian Ringgits) for unlimited day use on the same line. Heavily discounted daily and monthly passes are also available.
Now back to Jakarta. Those who have ever visited the city's 'public libraries' or National Archives building will know the difference. No wonder; in Indonesia education, culture and arts are not considered to be 'profitable' (with the exception of pop music), and are therefore made absolutely irrelevant. The country spends the third lowest amount in the world on education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP) after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly improving with the new progressive government).
Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no important international exhibitions. They look like they fell on the city from a different era and no wonder - the Dutch built almost all of them. Not only are their collections poorly kept, but they lack elements of modernity - there are no elegant cafes, museum shops, bookstores or even public archives. It appears that the individuals running them are without vision and creativity. However, even if they did have inspired ideas, there would be no funding to carry them out.
It seems that Jakarta has no city planners, only private developers that have no respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great majority, no matter what the understated and manipulated government statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which now controls almost everything, from residential housing to what were once public areas.
While Singapore decades ago, and Kuala Lumpur recently, managed to fully eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas, Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable housing equipped with running water, electricity, a sewage system, wastewater treatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a mass public transportation system.
Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants boasts one metro line (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines, suburban train links and high-speed rail system connecting the city with its new capital Putrajaya. The "Rapid" system counts on hundreds of modern, clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on "Rapid" costs only $.60 (2 Malaysian Ringgits) for unlimited day use on the same line. Heavily discounted daily and monthly passes are also available.
Bangkok contracted German firm Siemens to
build two long "Sky Train" lines and one metro line. It is also
utilizing its river and channels as both public transportation and as a tourist
attraction. Despite this enormous progress, the Bangkok city administration
claims that it is building an additional 50 miles (80 kilometers) of tracks for
these systems in order to convince citizens to leave their cars at home and use
public transportation. Polluting pre-historic buses are being banned from Hanoi, Singapore, Kuala Lumpur and gradually from Bangkok. Jakarta,
thanks to corruption and phlegmatic officials, is in its own league even in
this field.
Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality of life, places Jakarta repeatedly on the level of poor African and South Asian cities, below metropolises like Nairobi and Medellin.
Considering that it is in the league with some of the poorest capitals of the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city in the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd), Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for expatriates, how is it for local people with a GDP per capita below $1,000?
Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even selling themselves at the major intersections; to entire communities living under elevated highways and in slums on the shores of canals turned into toxic waste dumps; to the hours-long commutes; to floods and rats.
But if there is to be any hope, the truth has to eventually be told, and the sooner the better. Only a realistic and brutal diagnosis can lead to treatment and a cure. As painful as the truth can be, it is always better than self-deceptions and lies. Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighboring
countries - in esthetics, housing, urban planning, standard of living, quality of life, health, education, culture, transportation, food quality and hygiene. It has to swallow its pride and learn from Kuala Lumpur, Singapore, Brisbane and even in some instances from its poorer neighbors like Port Moresby, Manila and Hanoi.
Comparative statistics have to be transparent and widely available. Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demand answers and accountability. Only if they understand to what depths their city has sunk can there be any hope of change. "We have to watch out," said a concerned Malaysian filmmaker during New Year's Eve celebrations in Kuala Lumpur. "Malaysia suddenly has too many problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30 years like Jakarta!"
Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength and solidarity to mobilize in time catch up with Kuala Lumpur? Can decency overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced by creativity? Can private villas shrink in size and green spaces, public housing, playgrounds, libraries, schools and hospitals expand? An outsider like me can observe, tell the story and ask questions. Only the people of Jakarta can offer the answers and solutions.
Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality of life, places Jakarta repeatedly on the level of poor African and South Asian cities, below metropolises like Nairobi and Medellin.
Considering that it is in the league with some of the poorest capitals of the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city in the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd), Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for expatriates, how is it for local people with a GDP per capita below $1,000?
Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even selling themselves at the major intersections; to entire communities living under elevated highways and in slums on the shores of canals turned into toxic waste dumps; to the hours-long commutes; to floods and rats.
But if there is to be any hope, the truth has to eventually be told, and the sooner the better. Only a realistic and brutal diagnosis can lead to treatment and a cure. As painful as the truth can be, it is always better than self-deceptions and lies. Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighboring
countries - in esthetics, housing, urban planning, standard of living, quality of life, health, education, culture, transportation, food quality and hygiene. It has to swallow its pride and learn from Kuala Lumpur, Singapore, Brisbane and even in some instances from its poorer neighbors like Port Moresby, Manila and Hanoi.
Comparative statistics have to be transparent and widely available. Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demand answers and accountability. Only if they understand to what depths their city has sunk can there be any hope of change. "We have to watch out," said a concerned Malaysian filmmaker during New Year's Eve celebrations in Kuala Lumpur. "Malaysia suddenly has too many problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30 years like Jakarta!"
Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength and solidarity to mobilize in time catch up with Kuala Lumpur? Can decency overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced by creativity? Can private villas shrink in size and green spaces, public housing, playgrounds, libraries, schools and hospitals expand? An outsider like me can observe, tell the story and ask questions. Only the people of Jakarta can offer the answers and solutions.
***
Subscribe to:
Posts (Atom)