Jakarta, 28 Oktober 2014.
Hari ini, media harian KOMPAS mengangkat tajuk “Presiden: Lepas Ego
Sektoral”. Bagi saya pribadi hal ini merupakan pernyataan yang melegakan.
Beberapa tahun belakangan, pengalaman bekerja bersama dengan instansi-instansi pemerintah
dengan ego sektoral yang tinggi membuat pekerjaan saya terasa kurang efektif. Hal
ini dikarenakan adanya keengganan beberapa instansi untuk bekerjasama apabila
inisiatif dilakukan oleh Kementerian lain. Sasaran program juga menjadi
terbatas, dan terjadi kebingungan di tingkat masyarakat sebagai pelaku
kebijakan disebabkan adanya beberapa program yang terduplikasi. Otomatis
alokasi sumber daya manusia serta waktu menjadi berlipat untuk melakukan program
yang sama. Dengan adanya pernyataan dari Presiden Joko Widodo untuk melepas ego
sektoral ini, diharapkan Kementerian-kementerian akan dapat bekerja dalam satu
kesatuan sehingga akselerasi pencapaian tujuan dapat terjadi.
Peleburan UKP4 atau Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan di
dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) juga
merupakan suatu sinyal positif. UKP4 selama ini bertugas untuk
memastikan kelancaran program-program Kabinet Indonesia Indonesia Bersatu di
bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan adanya penghapusan
ini, diasumsikan fungsi UKP4 akan diambil alih oleh Presiden.
Program Lingkungan di bawah Kabinet Joko
Widodo
Presiden Joko Widodo
memberikan waktu dua bulan bagi menteri Siti Nurbaya Bakar untuk
merustrukturisasi lembaga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian
Kehutanan. Peleburan dua Kementerian ini menimbulkan sebuah pendapat pro dan
kontra. Ada suatu pendapat menarik yang saya baca di Kompas. Mengutip dari
tulisan tersebut: “banyak pegawai merasa kecewa karena nama “Kehutanan”
mengekor pada “Lingkungan Hidup””. Bagi saya, “Hutan” memanglah merupakan
bagian dari “Lingkungan Hidup” sehingga adanya kekecewaan merupakan hal yang
aneh. Justru dengan bergabungnya dua sektor ini, ada harapan bahwa akan sektor
kehutanan akan dapat menyeimbangkan antara sektor ekonomi dengan kelestarian
hutan.
Sebagai anak yang lahir di Kalimantan, saya
sangat miris melihat kondisi hutan di pulau kelahiran saya. Dulu sepanjang mata
memandang, yang saya lihat adalah hutan dengan pepohonan lebat khas hutan
tropis. Karakter jalan raya di sana adalah satu sisi hutan, dan satu sisi
jurang. Namun itu adalah kondisi 20 tahun
yang lalu. Saat ini, hutan-hutan tersebut dapat dikatakan telah habis. Tidak
ada lagi payung rindang pepohonan di sisi jalan. Di kanan kiri jalan lintas
kota yang ada hanya tunggul-tunggul pohon. Perjalanan pulang yang seharusnya
membahagiakan menjadi menyedihkan.
Ketika mendengar
adanya peleburan dua Kementerian ini, yang terbersit di benak saya adalah
harapan. Walaupun nama menterinya tidak familiar, tapi saya memiliki kepercayaan
bahwa beliau tentunya tidak asal dipilih untuk menduduki jabatan yang
sedemikian vital. Apalagi dengan banyaknya masalah yang memerlukan tindakan
tegas di sektor kehutanan, coba-coba jelaslah bukan suatu pilihan.
Saya kemudian membaca artikel
dari Harry Surjadi
yang dishare teman saya Verena di sebuah media social. Tulisan beliau membuat
saya semakin yakin bahwa saya tidak salah menaruh harapan dalam kementerian
baru ini. Menurut Harry, akar persoalan hutan adalah "mengabaikan hak
masyarakat, terutama masyarakat adat atas hutan."
Kementerian Baru diarahkan
berkordinasi dengan Sekretariat Negara terkait dengan gedung dan perlengkapan.
Sehingga tidak ada alasan untuk tidak langsung bekerja.
Ini baru dari sisi hutan, banyak
sisi lain dari kelestarian lingkungan yang perlu dicermati oleh kabinet baru.
Perlu diingat bahwa Indonesia masih memegang komitmen nasional untuk
pengurangan emisi sebesar 26%. Sektor pengolahan limbah padat dan cair,
ketersediaan air bersih, konservasi dan juga penyediaan sumber energi alternatif,
serta proses industri dan pembangunan ramah lingkungan merupakan beberapa
pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
Mari Bekerja!
Membaca susunan para Menteri baru
di kabinet Joko Widodo, saya melihat beberapa nama yang tidak begitu familiar.
Setelah sekilas ditelusuri, beberapa menteri tidak memiliki pengalaman kerja
yang terkait langsung dengan bidang yang dibawahi. Sekilas terpikir, bahwa ini
merupakan suatu negosiasi. Sungguh naïf jika mengharapkan suatu kesempurnaan. Namun
saya mencoba berpikir positif, mereka bahkan belum mulai bekerja, siapa yang
bisa menghakimi kinerja mereka jika belum ada sesuatu yang bisa dinilai. Akhir
kata, sudah cukuplah komentar-komentar ini. Mari bekerja!
***